Sultan Murad IV, Dari Isu kekejaman Sampai Hobi Mabuk Alkohol

Sultan Murad IV, Sultan Utsmaniyah ke-17 dan Khalifah Muslim ke-82, dikenal sebagai salah satu penguasa yang paling berani, tegas, dan cukup kontroversial dalam sejarah Kekaisaran Utsmaniyah. Lahir pada tahun 1612 sebagai putra Sultan Ahmed I, Murad IV menapaki jalan yang penuh gejolak sejak masa kecilnya.
Meskipun ia memerintah selama 16 tahun, semangat kepemimpinannya, kecerdikan militernya, dan kebijakan kerasnya tetap dikenang sepanjang sejarah. Meskipun kekuasaannya singkat, Murad IV menjadi salah satu figur yang mencatatkan prestasi besar dan meninggalkan dampak signifikan di dunia Utsmaniyah.
Masa Kecil dan Pendidikan
Murad IV menghabiskan masa kecilnya di istana Utsmaniyah, memperoleh pendidikan dan pembentukan karakter yang baik. Sejak usia muda, ia menunjukkan ketertarikan yang besar pada urusan negara dan rakyatnya.
Pada usia 10 tahun, ia mulai berpakaian seperti orang biasa dan berjalan-jalan di kota, mencoba memahami kehidupan masyarakat biasa. Hal ini menunjukkan bahwa ia sudah mulai merencanakan masa depannya untuk bekerja sama dengan rakyat dan memahami masalah yang mereka hadapi.
Ketika berusia 12 tahun, setelah kematian pamannya, Sultan Mustafa I, Murad IV naik tahta menggantikan posisi tersebut. Selama masa transisinya, ibunya menjadi wali raja, namun ketika Murad IV mencapai usia dewasa, ia mulai mengambil kendali penuh atas pemerintahan.
Dalam masa pemerintahan awalnya, ia menghadapi kekacauan yang disebabkan oleh pemberontakan dan ketidakstabilan yang merajalela di Kekaisaran Utsmaniyah dari banyak sisi, mulai dari para tentara yang sudah tidak bisa disiplinkan dan menjadi para preman kerajaa, Premanisme di tengah masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan, korupsi para pejabat dan ulama yang cinta dunia.
Kebijakan Keras dan Pengaruhnya di Dalam Negeri
Salah satu hal yang paling mencolok dalam kepemimpinan Sultan Murad IV adalah kebijakannya yang tegas walau sebagian sejarawan barat mengatakannya sebagai keras, terutama dalam menanggulangi kerusuhan sosial dan pemberontakan.
Keputusan Murad IV untuk menindak tegas para pemberontak dan individu-individu yang mengancam stabilitas negara membentuk karakter kepemimpinannya.
Sultan Murad IV tidak segan-segan memerintahkan eksekusi terhadap siapa pun yang dianggap melanggar aturan atau mengancam wibawa negara, termasuk saudara-saudaranya.
Selama pemerintahannya, ia berhasil menenangkan kekacauan di Istanbul dan berbagai wilayah lain di Kesultanan Utsmaniyah dengan melakukan tindakan yang tepat terhadap mereka yang dianggap berbahaya. Salah satu kebijakan paling terkenal adalah larangan merokok yang diberlakukan di seluruh wilayah Utsmaniyah.
Larangan merokok ini bermula pada tahun 1633, sebuah kebakaran besar di Istanbul disebabkan oleh seseorang yang tertidur saat merokok di perahu. Dampak dari kebakaran ini amat besar, sekitar 20.000 rumah hangus terbakar dan 50.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Sebagai tanggapan, Sultan Murad IV mengeluarkan perintah yang melarang merokok, dan bagi mereka yang ketahuan melanggar, ia memerintahkan hukuman mati. Dikatakan bahwa sekitar 20.000 orang dieksekusi karena melanggar peraturan ini.
Selain itu, Sultan Murad IV juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang berusaha menanggulangi pemborosan dan korupsi dalam administrasi negara.
Ia mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan tanah dan sumber daya yang sebelumnya diambil oleh para pengganggu, serta memerintahkan reformasi dalam sistem Tımar, yang bertujuan mendistribusikan tanah sementara kepada para tentara berdasarkan pendapatan yang dihasilkan dari wilayah yang baru ditaklukkan.
Ekspansi Militer dan Keberhasilan di Eropa

Meskipun kebijakan dalam negeri yang keras, Sultan Murad IV juga terkenal dengan kepemimpinan militernya yang gemilang. Salah satu pencapaian besar yang dicatatkan Murad IV adalah ekspansinya ke wilayah Timur Tengah, termasuk kampanye untuk merebut Yerevan dan Tabriz, yang sebelumnya tidak dapat dikuasai oleh sultan-sultan sebelumnya, termasuk Sultan Suleiman I yang Agung.
Pada tahun 1635, Sultan Murad IV memulai ekspedisi besar ke arah timur dan berhasil merebut Yerevan setelah pengepungan yang berlangsung selama 11 hari.
Pada tahun 1638, Sultan Murad IV memimpin pasukannya untuk merebut Baghdad dari tangan dinasti Safawi. Dengan strategi militer yang brilian, ia akhirnya berhasil menaklukkan kota tersebut setelah perjalanan panjang selama lima bulan.
Setelah Baghdad ditaklukan, Sultan Murad IV mengunjungi makam imam besar madzhab hanafi dan berucap syukur yang luar biasa karena pada akhirnya umat islam sunni bisa kembali menziarahi makam ulama besar tersebut, setelah bertahun-tahun terhalang oleh Daulah Safawi yang beraliran Syi’ah.
Setelah penaklukan Baghdad pun, beliau membuat peraturan dimana umat islam Sunni ataupun Syi’ah bisa hidup berdampingan satu sama lain tanpa ada diskriminasi sedikitpun.
Dari keberhasilan ini, Sultan Murad IV menunjukkan ketangguhan dan tekad yang luar biasa, meskipun dalam keadaan sakit parah akibat penyakit asam urat yang dideritanya. Setelah kemenangan ini, ia memperkuat perbatasan dengan Persia dan menetapkan batas wilayah yang kini masih tetap berlaku hingga saat ini.
Hubungannya dengan Eropa dan Venetia
Sultan Murad IV juga meninggalkan dampak besar di Eropa, meskipun tidak banyak terlibat dalam peperangan langsung dengan negara-negara Eropa. Pada masa pemerintahannya, beliau menghadapi ancaman dari Republik Venesia yang mengkhianati perjanjian dengan Kekaisaran Utsmaniyah.
Memanfaatkan kekuatan angkatan laut mereka, Venesia melanggar perjanjian perdagangan dengan Utsmaniyah dan menguasai pelabuhan Dalmatian. Sultan Murad IV, yang pada waktu itu berada di Baghdad, dengan cepat menerima laporan tentang pelanggaran tersebut dan segera memerintahkan pemutusan hubungan dagang dengan Venesia serta mempersiapkan untuk berperang.
Namun, saat Sultan Murad IV kembali dari ekspedisi Baghdad pada 1640, langkah-langkah diplomatik berhasil dilakukan untuk menghentikan potensi peperangan. Pada akhirnya, Venesia membayar kompensasi dan menerima syarat-syarat yang ditetapkan oleh Sultan Murad IV.
Tindakan tegasnya ini menunjukkan bahwa meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran besar dengan negara-negara Eropa, kekuasaannya tetap memberikan dampak yang signifikan di seluruh dunia.
Penyakit dan Wafatnya Sultan Murad IV
Sayangnya, kesehatan Sultan Murad IV menurun drastis pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya. Penyakit asam urat yang telah lama ia derita semakin parah, dan pada 8 Februari 1640, ia meninggal setelah berjuang melawan penyakit ini selama lima tahun.
Penyakit yang menggerogoti tubuhnya akhirnya mengakhiri hidupnya pada usia yang sangat muda, hanya 28 tahun. Ia dimakamkan di dekat makam ayahnya, Sultan Ahmed I, di Kompleks Sultanahmet.
Meskipun masa pemerintahannya singkat, Sultan Murad IV meninggalkan warisan besar bagi Kekaisaran Utsmaniyah. Selama 16 tahun masa pemerintahannya, ia berhasil memulihkan stabilitas negara, memperbaiki kondisi ekonomi, dan mengembangkan kekuatan militer yang luar biasa.
Ia dikenal sebagai pemimpin yang tidak kenal takut, berani mengambil langkah tegas, dan memiliki visi besar untuk masa depan Utsmaniyah.
Sultan Murad IV Seorang Pemabuk Alkohol

Sultan Murad IV adalah Sultan yang amat sangat memberikan perhatian pada keamanan dan ketertiban negara khususnya di Ibu Kota. Beliau suka mengendap endap dengan pakaian biasa untuk melihat langsung siapakah orang-orang yang suka membuat keributan melanggar peraturan dan akan dieksekusi olehnya.
Khususnya dalam permasalahan minuman alkohol, dikatakan jika beliau menemukan orang yang meminum alkohol ketika beliau mengendap endap di sekitaran kota istanbul, makan Sultan akan langsung memukuli orang tersebut agar jera dan tidak lagi meminum alkohol.
Tapi ada saja isu-isu yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak menyukai beliau baik saat beliau hidup atau pun telah tiada. diantaranya adalah isu bahwa Sultan Murad IV adalah seorang pemabuk dan pecandu Alkohol, hal ini karena beliau kerap terlihat terhuyun-huyun ketika berjalan.
Hal ini memberikan kontroversi yang di mata para sejarawan kelak bahwa Sultan Murad IV adalah orang yang tegas terhadap pemabuk namun beliau sendiri adalah seorang pecandu alkohol, sehingga menurunkan wibawa dan integritas beliau dan dicap sebagai seorang penguasa yang munafik terhadap kebijakannya sendiri.
Dalam sebuah artikel berjudul Mighty sovereigns of Ottoman throne: Sultan Murad IV yang ditulis oleh Ekrem Buğra Ekinci, beliau adalah seorang profesor Sejarah Turki dan Hukum islam dari Universitas Marmara menjelaskan bahwa, saat Sultan Murad IV sakit asam urat dan semakin parah, kepala dokter yang menangani beliau ketika itu mencampurkan obat beliau dengan opium guna meredam rasa sakitnya.
Hal ini mengakibatkan beliau sering berjalan terhuyun-huyun seperti orang yang mabuk karena meminum alkohol diakibatkan efek obat tersebut. lambat laun disebarkan lah isu atau rumor bahwa beliau adalah peminum dan pecandu alkohol.
Dari sini dapat kita fahami bahwa Sultan Murad IV bukanlah seorang pecandu alkohol dan bukan juga pemabuk sekaligus orang munafik yang tidak memiliki integritas dalam melaksanakan kebijakan yang beliau buat.
Sultan Pertama yang Mengeksekusi Syeikhul Islam
Sepanjang sejarah Daulah Utsmaniyah, tidak pernah ada eksekusi kepada para Syeikhul Islam (Otoritas tertinggi dalam Ulama Islam). Sultan Murad IV lah orang yang pertama kali memberikan eksekusi kepada otoritas tersebut.
Banyak sejarawan yang mengkritik hal ini, mereka mengaggap bahwa ini adalah tidakan tidak bermoral dan kejam untuk seorang Sultan yang mereka bilang seharusnya cinta damai dan penuh kasih. Akan tetapi mereka lupa kalau seorang sultan juga harus tegas dan tidak pandang bulu jika menyangkut soal pemberontakan dan keamanan negara apa lagi soal agama.
Ahizade Hüseyin Efendi adalah seorang Syeikhul Islam pada masa itu, ia bersekongkol dengan pemberontak untuk menggulingkan pemerintahan Sultan Murad IV dan menyebarkan berita penggiringan opini bahwa Sultan Murad IV adalah orang yang kejam dan tidak manusiawi sehingga tidak layak mengemban gelar Sultan.
Mengetahui hal tersebut, ditambah bukti-bukti kuat yang diberikan oleh para mata-mata beliau. Tanpa ragu Sultan pun menahan Ahizade Hüseyin Efendi dan mengeksekusinya dengan cara dicekik dengan kain sutra (hukuman mati paling mulia dalam daulah Utsmaniyah).
Sifat Keras dan Kejam Sultan Murad IV
Seperti yang disebutkan di atas bahwa ada sebagian sejarawan yang menyebut bahwa Sultan Murad IV adalah seorang yang kejam dan keras. Alasan penyematan kata sifat keras dan kejam tersebut karena beliau tidak pandang bulu dalam perilah eksekusi mati.
Dikatakan 20.000 orang dieksekusi selama masa pemerintahannya. Hal ini memang terlihat kejam dan keras namun perlu diketahui bahwa orang-orang yang dieksekusi tersebut bukan sekedar warga biasa tapi mereka adalah para preman kota, koruptor, dan penganggu ketertiban masyarakat yang sudah sejak lama meresahkan dan merugikan negara.
Dampak dari keseluruhan eksekusi tersebut seperti yang ditulis oleh Ekrem Bugra Ekinchi, kesultanan Utsmaniyah menjadi tentram dan damai sehingga lebih aman dari kondisi sultan-sultan sebelumnya.
Selain itu, atas kebijakan yang orang – orang bilang keras ini, Sultan Murad IV berhasil menambah kas negara yang awalnya kosong menjadi 15 juta koin emas pada saat kematian beliau dan ini belum terhitung koin perak dan aset-aset berharga lainnya.
Dapat dikatakan bahwa beliau yang naik tahta dari umur 12 tahun ini, berhasil memperbaiki negara dari yang awalnya miskin dengan kas negara yang kosong berhasil kuat kembali dengan 15 juta koin emas dan harta-harta negara lainnya.
Legasi Sultan Murad IV
Para sejarawan Ottoman menggambarkan Sultan Murad IV sebagai yang terhebat di antara para sultan yang memerintah dalam periode 242 tahun antara Sultan Suleiman yang Agung dan Sultan Mahmud II. Menurut Hammer, Sultan Murad memperpanjang umur dan wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman selama lima puluh tahun.
Tanpanya, kemunduran kekaisaran mungkin sudah dimulai pada tahun 1683, lebih cepat 50 tahun dari yang terjadi. Dia berhasil menghidupkan kembali kekaisaran itu, dan seandainya dia hidup lebih lama, kemungkinan besar ia akan mengembalikan kejayaan negara seperti di masa pemerintahan Sultan Suleiman yang Agung.
Sejarawan Mustafa Naima berpendapat, “Ia sangat mirip dengan Sultan Selim I dalam karakter dan kemampuannya. Namun, saat ia naik tahta, kondisi negara jauh berbeda dengan yang diterima Sultan Selim. Tentara berada dalam keadaan kacau, ketertiban publik rusak, dan keuangan negara hancur. Ketika Sultan Selim naik tahta, ia berusia 42 tahun, sedangkan Sultan Murad baru berusia 12 tahun.
Murad tidak memiliki pengalaman seperti yang dimiliki Sultan Selim. Oleh karena itu, ia bukanlah seorang penakluk dunia seperti Sultan Selim. Namun, ia berhasil di segala bidang. Ia seorang komandan ulung, negarawan hebat, dan diplomat cakap.
Ia sangat tegas, namun ia tidak akan tersinggung oleh kebenaran dan selalu mendengarkannya. Sayangnya, ia tidak memiliki negarawan yang sebanding di sekitarnya. Jika ada, ia akan mengalahkan para penguasa sebelumnya.”
Kekuatan militernya yang luar biasa, reformasi dalam administrasi negara, serta keberhasilannya dalam menghadapi ancaman dari luar negeri menjadikannya salah satu tokoh yang penting dalam sejarah dunia Islam.
Meskipun kematiannya pada usia yang sangat muda adalah sebuah tragedi, semangatnya dalam membangun dan mempertahankan kejayaan Utsmaniyah tetap hidup dalam ingatan sejarah. Sultan Murad IV meninggalkan sebuah kerajaan yang kuat, pasukan yang terlatih, dan sebuah warisan kepemimpinan yang terus diingat hingga hari ini.
Namun sayang seribu sayang, rasa benci dan iri masih menyelimuti musuh-musuhnya bahkan sampai beliau wafat. Itu terlihat jelas dari apa yang ditulis para sejarawan yang tidak suka pada beliau dan menyebarkan informasi-informasi keliru bahkan dusta terhadap Sultan Murad IV.